Selasa, 28 April 2015

Feature Perjalanan Sederhana

0





       Saya menghela napas tepat setelah menginjakan kaki di depan rumah, “hah…selamat hari senin lagi”. Saya berniat ke kantor bapak terlebih dahulu, letaknya di ujung lorong 15 meter dari rumah. Siang ini terik sekali, matahari serasa membakar punggung. Sebenarnya senin tidak harus saya identikan dengan hal yang mematahkan semangat, namun jadwal kuliah saya diawal pekan pukul 12.30 WITA, tanpa diniatkanpun langkah menuju kantor bapak diiringi keluhan, belum lagi jika melihat tempat pembuangan sampah yang tidak tertata sekitar 5 meter dari rumah.


            Hari ini rencananya saya berangkat ke kampus dengan bapak. Saya ke kampus dan bapak menjemput mitha, adik saya di sekolah. Hari ini dia ujian nasional. Setibanya dikantor, saya memberi salam seiring langkah kaki saya masuk ke dalam, namun tak ada balasan. Saya memanggil bapak sambil berjalan menuju dapur, ternyata bapak juga tidak ada di sana, setelah berbalik ke ruang utama, pandangan saya tertuju ke kamar yang pintunya terbuka, rupanya bapak sedang sholat. Saya duduk sejenak sambil menunggu bapak selesai shalat, sekalian buka pinterest, berhubung hari ini kuliah desain grafis, saya coba cari referensi desain logo. Minggu kemarin pak Arya, dosen desain grafis menyampaikan bahwa minggu ini kami akan belajar membuat logo, jadi setidaknya saya harus banyak melhat jenis-jenis logo.

            Saya melirik kearah kamar, bapak sedang melipat sajadah kemudian keluar menuju ruang utama, saya mengajaknya untuk berangkat bersama. Tanpa menjawab, bapak mengambil tas dan berjalan ke pintu keluar. Buru-buru kututup pinterestku lalu mengikutinya keluar. Sekitar pukul 12.40 wita kami berangkat, sejenak mobil mulai melewati portal perumahan kemudian berbelok kearah jalan utama.

 Jarak antara rumah dan jalan utama hanya sekitar 300 meter, namun pada situasi dan kondisi tertentu butuh waktu lama untuk menyusuri jalan ini. Barisan kendaraan yang terparkir di depan warung makan bisa menimbulkan kemacetan, dan celakanya warung makan bisa sampai belasan di sepanjang jalan ini, bukan hanya itu, salah parkir, banjir, jumlah kendaraan padat dari masing-masing arah juga bisa menimbulkan kemacetan.

            Tempat tinggalku berada di kawasan pendidikan, deretan kampus berjejer seperti STIMIK Dipanegara, STIK Akba, Poleteknik Negeri Ujung Pandang, Universitas Islam Makassar, Universitas Hasanuddin, dan masih banyak lagi. Banyaknya kampus yang bertempat di daerah inilah yang menjadi cikal bakal Tamalanrea dicanangkan sebagai kawasan pendidikan. Hal ini termuat dalam peraturan daerah kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Tata Ruang Wilayah Kota Makassar. Hal ini pulalah yang membuat warung makan dan kos-kosan di tiap jalan arteri sekitar Tamalanrea menjamur, termasuk Jalan Bung, termpat tinggal saya.

            Menjelang keluar kearah jalan utama, kembali jalan menjadi padat kendaraan, padahal gerbang Jalan Bung sudah didepan mata. Ada pemandangan unik di sudut kanan jalan, sebuah meja persegi berukuran 1x1 meter dikelilingi beberapa laki-laki, satu diantaranya sedang jongkok dibelakang meja sambil mengamati batu di tangannya, sesekali batu itu ia tiup, kemudian diusap dengan kain yang dipegang ditangan yang satunya, kemudian diamati lagi, begitu seterusnya. 

            Jalan masih macet, kendaraan sulit bergerak. Seorang laki-laki melintas di depan mobil yang memang sedang berhenti, ia menuju ke tempat penjualan batu akik.
“Allei otonuuee” setengah berteriak.
Pelanggan yang tadi fokus melihat batu akik kaget dan berbalik, kemudian sadar jalan disekitar mereka macet karena motor yang mereka parkir sembarangan. Bapak tertawa, bapak juga senang dengan batu akik, tapi jauh sebelum deman batu akik seheboh saat ini. 

            Setelah keluar dari kemacetan tadi, kendaraan belok ke kiri memasuki jalan utama. Kiri-kanan terlihat Ruko dan Toko entah itu Foto Kopi,  penjualan alat tulis atau jasa pengetikan, namun semakin ke selatan, Ruko dan Toko tadi berubah menjadi Rumah Bernyanyi, Warkop, Mall, dan lain sebagainya. Tepatnya disekitar STIMIK Dipanegara, saya teringat dengan kultwit salah-satu akun anonym yang mengkritik kawasan Tamalanrea yang dikenal sebagai kawasan pendidikan sudah menuju ke kawasan hiburan.

            “Kira-kira ujiannya Mitha bagaimana?” bapak membuka percakapan, mengalihkan pikiran saya yang sejak tadi fokus dengan jalan Tamalanrea.
            “Insyaallah baik, kita dengar saja bagaimana laporannya nanti” jawabku.
Bapak nampaknya khawatir, hal ini saya rasa wajar bagi orang tua. Tiba-tiba handphone bapak berbunyi, Bapak akhir-akhir ini memang sibuk sekali, pikirku. Saya mengecilkan volume radio agar bapak dapat mendengar suara dari handphonenya dengan jelas. Saya kembali memandang jalan menuju kampus, Samar-samar terdengar lagu budi doremi  mengalun indah.

            Menjelang kendaraan berbelok ke jalan Prof. Abdurahman Basalam, saya memperhatikan “Pak Ogah” sebutan bagi orang yang membantu kendaraan memutar di perempatan jalan. Fenomena ini memang sudah sejak beberapa tahun terakhir menjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat. Kehadiran mereka sudah menjamur di beberapa titik jalan  kota Makassar. Bapak juga selalu menyiapkan uang receh sebagai upah jasa memutar kendaraan kepada pak ogah.

            Setelah berbelok, kami kembali disambut barisan kendaraan yang berjejer di salah-satu warung makan, memang saat ini jam makan siang. Kulihat beberapa orang baru masuk ke dalam warung makan yang bertulis “Rumah Makan Seruni” pada kain berukuran 3x2 yang terikat pada sisi atas Warung, dan beberapa lagi sedang mengatur posisi motornya, tapi tetap saja masih macet. 

            “Ternyata pegawai Rumah Sakit Wahidin juga makan disini, jauh sekali” bapak heran sambil melihat kearah warung makan tersebut. Saya berbalik tapi tak dapat mengenali mana pegawai Rumah Sakit Wahidin.
            “Bapak tahu dia pegawai dari mananya?” tanyaku bingung
            “Dari seragamnya” jawab bapak singkat.
Jalan Prof. Abdurahman Basalamah dalan kondisi dan waktu tertentu juga dapan macet, selain karena hal tadi, jalan ini juga langganan banjir saat musim hujan. Saya pikir Tata ruang kota Makassar harus segera dibenahi.
            10 meter sebelum melewati Masjid kami melihat beberapa laki-laki berjalan dengan mengenakan pakaian serba putih.
            “Itu ISIS!” canda bapak sambil menunjuk mereka.
Saya tersenyum “Mana bisa langsung disimpulakan begitu, bisa sajakan mereka jemaah tablig atau musafir”
            “Tapi kan ISIS berasal dari itu juga” sambung bapak dengan enteng.
            “Yah mana bisa kita tahu mereka ISIS atau bukan kalau cuman sekedar melihat cara berpakaian mereka” jawabku serius.
Obrolan mengenai ISIS berakhir setelah mobil berhenti di depan kampus. Kulihat ada tenda yang berdiri di depan Pelataran Aula.
            “Ada kegiatan apa dikampus” tanya bapak sambil melihat kearah pelataran aula.
            “Saya belum tahu, mungkin seminar” jawabku sekenanya lalu berpamitan.          

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com