Minggu, 02 Agustus 2015

Gender dan Produksi Media

1



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Di antara banyak persoalan media massa Indonesia yang tidak sensitif gender saat ini, setidaknya terdapat empat isu penting. Pertama, media massa masih memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi perempuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron dan produk media massa lainnya. Yang ditampilkan adalah kondisi perempuan sebagai objek, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti molek, seronok, seksi, dan sejenisnya. Dalam pemberitaan kasus kriminal, perkosaan misalnya, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban kejahatan kaum laki-laki. Di sisi lain penempatan (positioning) perempuan sebagai korban (survivor) atau saat menjadi pelaku/tersangka juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih berorientasi seksual (sex-oriented), seperti “dipaksa melayani nafsu”, “bertubuh molek”, dan sebagainya.


Kedua, dalam aktivitas media sangat sedikit kaum perempuan terlibat menjadi pekerja media. Persoalan kuantitatif ini barangkali tidak terlalu parah bila di antara jumlah yang sedikit tersebut para jurnalis perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya, karena umumnya mereka masuk dalam dunia jurnalistik yang sangat maskulin, ukuran-ukuran pemberitaan yang digunakan masih menggunakan ukuran laki-laki sebagai pihak dominan dalam pengambilan keputusan. Tulisan-tulisan yang disajikan para jurnalis perempuan pun sudah dikondisikan dalam “pola laki-laki” (male patterns). Seandainya ada jurnalis perempuan yang concern terhadap sensitifitas gender, hanya menempati posisi yang kurang penting dalam jajaran dewan pengurus media. Bahkan dalam sejarah pers Indonesia, nama-nama tokoh pers pun cenderung dihegemoni nama “laki-laki”.

Ketiga, kepentingan ekonomi dan politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Perempuan dan segala stereotipe-nya dalam pandangan media massa adalah komoditas yang laku dijual. Media massa, di Indonesia, sebagai bagian dari lingkaran produksi yang berorientasi pasar menyadari adanya nilai jual yang dimiliki perempuan, terutama sebagai pasar potensial. Kondisi kultural ini didukung pula oleh permasalahan kultural di level organisasional media, terutama masalah coorporate culture yang masih sangat patriarkis.

Keempat, regulasi media yang ada saaat ini tidak sensitif gender, Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers misalnya, kurang memperhatikan masalah-masalah perempuan dan media. Ditambah lagi, aturan-aturan normatif lainnya yang selama ini sudah ada pun kurang atau bahkan tidak ditaati oleh para pekerja media.

Di tengah banyaknya tuntutan agar jurnalisme konvensional yang selama ini ada dirombak dan disesuaiakan dengan kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka muncullah konsep-konsep jurnalisme yang bermuatan humanitarian, seperti jurnalisme damai, jurnalisme multikultur, jurnalisme empati dan sebagainya. Jurnalisme sensitif gender termasuk salah satu pendekatan yang dipakai guna mengatasi bias gender dalam pemberitaan media.

Diskusi mengenai “gender” dalam dunia akademik bahkan dalam konteks media massa banyak dipahami dari sudut pandang kekerasan terhadap perempuan, artinya perempuan dalam posisi tertentu diletakkan sebagai pajangan untuk kepentingan produk sehingga perempuan tersubordinasi dalam posisinya di dunia jurnalisme. Sejatinya, dengan intensnya diskusi dan pewacanaan mengenai gender dapat memberikan pelajaran yang berarti dalam kehidupan sosial, khususnya interrelasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Alih-alih terjadi kesetaraan, media dalam beberapa kasus malah mendorong munculnya berbagai macam kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Berbagai macam pemberitaan mengenai kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam lingkup domestik ataupun di dalam wilayah publik, juga menjadi sorotan tajam para pemerhati gender. Isu yang mereka kembangkan biasanya mencakup hal mengapa pers seakan enggan untuk mengemas peristiwa-peristiwa kriminalitas dan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam persfektif responsif gender. Sering dijumpai dalam pemberitaan mengenai perkosaan, media massa masih menggunakan bahasa yang tidak pantas dan lucu dalam penyajiannyan dengan mengedepankan pemberitaan aktivitas seksualnya, bukan perkara kriminalnya yang ditonjolkan.

Muatan berita yang dapat mendorong dekonstruksi nilai patrilineal ke arah yang lebih positif dalam arti memanusiakan perempuan, dapat diduga tidak akan mengurangi nilai berita atas suatu peristiwa yang dihasilkan sebagai sebuah berita (news). Mengembangkan isu-isu pemberitaan yang lebih produktif, semacam penampilan perempuan dalam panggung publik akan lebih baik dari sekedar menampilkan pemberitaan tentang perempuan yang stereotipe, seperti hanya menampilkan daya tarik seksual.

Begitu banyak faktor determinan yang bisa disebutkan untuk menjelaskan mengapa media cenderung bias gender. Ini lantaran media merupakan ruang bagi laki-laki untuk menyatakan eksistensi mereka. Media selanjutnya dilabelisasi berkelamin laki-laki. Kurangnya jurnalis perempuan, seringkali bukan karena ketidakmampuan perempuan dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik namun karena pekerjaan ini memang sudah dipasangi tanda “dilarang masuk” bagi perempuan. Berdasarkan data Persatuan Wartawan Indonesia, hingga tahun 2003 jumlah wartawan perempuan di Indonesia hanya berkisar 10,5% atau 1.079 orang dari 10.278 anggota PWI yang terdaftar (Hendraningrum, 2005) Selain itu, karena kekurangtahuan (unwell-informed) para pekerja pers terhadap isu gender, (Lan, 2005 ). Ketimpangan antara jumlah laki-laki dengan perempuan dalam pengelolaan media bukan berarti bahwa dengan demikian media selalu bias gender, pun sebaliknya. Bisa saja sebuah lembaga media dikelola oleh perempuan tetapi tampilan berita sebagai konstruksi realitas sebuah peristiwa yang berkaitan dengan gender tidak berpihak terhadap perempuan.

Dalam konteks lokal persoalan serupa menjadi wacana menarik dalam setiap perdebatan yang berkaitan dengan media dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari masih seksisnya tampilan media dalam pemberitaan. Seorang korban pemerkosaan misalnya, kadang justru diberitakan dalam posisi yang dihakimi sebagai perempuan penggoda. Tidak cukup sampai disitu, media juga masih tetap menggambarkan perempuan yang baik itu adalah ibu yang tinggal dirumah menjaga anak dan menunggu keluarga dan kalaupun mengakui aktivitas perempuan di ruang publik, media tetap melekatkan image bahwa keberhasilan yang diperoleh perempuan itu adalah hasil kompromi laki-laki bukan karena prestasi perempuan sendiri.

B. Tujuan
Setelah membaca materi ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mampu mengetahui tentang perspektif gender. Di samping itu mahasiswa mengetahui tentang pengertian seks dan gender, gender dan stratifikasi, gender dan sosialisasi, gender dan pekerjaan, gender dan pendidikan serta bagaiman gender mempengaruhi pengambilan keputisan dalam produksi media. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi tentang ”Gender dan Produksi  Media”

C.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang pemikiran di atas, maka substansi pertanyaan yang ingin dijawab dalam makalah ini adalah :
1.      Konsepsi Gender
2.      Gender dalam media massa
3.      Posisi perempuan dalam industri media
4.      Identifikasi persoalan gender dalam dunia juralistik
5.      Cara memasukkan perspektif gender dalam newsroom
6.      Mengetahui mengapa penting untuk memasukkan isu soal perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam dunia kerja?
7.      Langkah strategis peran perempua dalam media
8.      Contoh kesetaraan gender dalam media


BAB II
PEMBAHASAN
  
A. Konsepsi Gender

Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu bentuk analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley (1972, Dalam Fakih, 1997). Setelah itu gender kemudian dijadikan salah satu alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Sama dengan penggunaan teori marxisme untuk memahami persoalan kerimpangan sosial antara kelas borjuis dengan kaum buruh. Sejalan juga dengan teori hegemoni Antonio Gramsci dalam memahami kekuasaan negara atas masyarakatnya.

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin didasarkan pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis dan anatomi tubuh. Misalnya laki-laki memiliki jakun, testis, penis, memproduksi sperma serta ciri-ciri lain berbeda dengan perempuan. Sementara perempuan mempunyai alat reproduksi seperti rahim, dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi indung telur, vagina, payudara dengan air susu, dan ala biologis perempuan lainnya sehingga bisa haid, hamil dan menyusui yang disebut kemudian sebagai alat reproduksi (Lisa Tuttle dalam Fakih, 1997).

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial, cultural dan keagamaan, bahkan melalui kekuasaan Negara. Karena prosesnya yang begitu panjang sehingga lama-kelamaan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat dirubah (Engels dalam Fakih, 1997).

Proses sosialisasi konstruksi sosial tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis masingmasing jenis kelamin. Seorang laki-laki dituntut untuk kuat, agresif sehingga laki-laki termotivasi dan terlatih untuk mempertahankan sifat tersebut dan akhinya laki-laki menjadi lebih kuat dan lebih besar.

Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu :

a. Ketidakadilan dan diskriminasi gender
Ketidakadilan dan diskriminasi dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan dan laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai perbedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. Seperti : marginalisasi, subordinasi, stereotip (pelabelan) dan kekerasan (violence).


b. Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti perempuan dan laki-laki menikmati satatus yang sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hakhaknya dan kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, sosial dan budaya.
Kesetaraan gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara perempuan dan lakilaki, dan atas peran yang mereka lakukan (Hendraningrum, 2005). Satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dansemua kerja yang dilakukan perempuan seperti ; kerja produktif, reproduktif, privat dan public danm menolak upaya apapun untuk menilai rendah pekerjaan mempertahankan keluarga dan rumah tangga yang kemudian dikenal dengan “pemberdayaan” atau secara lebih umum dikenal dengan “Gender dan Pembangunan” (Gender And Development-GAD) terhadap perempuan dalam pembangunan (Mosse,2002)

B. Gender dalam Media Massa

Budaya patriarki yang amat kuat dan mewarnai berbagai sector kehidupan di Indonesia menyebabkan hampir seluruh aktivitas hidup diwarnai ketimpangan gender. Hampir seluruh bidang atau sektor yang diterjuni perempuan tidak terlepas dari kontrol laki-laki. Kontrol laki-laki dan sistem patriarki tersebut bisa berupa daya produktif atau tenaga kerja perempuan, reproduksi perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan, gerak perempuan, harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya (Basin,1996).

Budaya patriarki yang kuat tersebut tercermin pula dalam pemberitaan media massa. Hal ini terjadi karena pada dasarnya media massa adalah cermin dan refleksi dari kondisi sosial budaya masyarakat. Pandangan yang bias dari seorang wartawan dan media terhadap patriarki, akhirnya menghasilkan pula pemberitaan yang bias terhadap perempuan. Pemberitaan yang bias terhadap perempuan dalam media massa secara sadar atau tidak turut memberikan andil melanggengkan keyakinan budaya patriarki yang tidak adil itu, sehingga peran publik yang dimainkan perempuan sulit ditemukan dalam pemberitaan media (Atmonobudi, 2004) . Misalnya masih sedikit pemberitaan mengenai pemimpin, ilmuan, ulama dan lain-lainnya yang perempuan. Padahal diharapkan pemberitaan media dapat mendorong perempuan untuk lebih berdaya dalam peran publik dan tidak begitu saja menerima stereotip yang dilekatkan kepadanya.

Penyajian informasi pada media massa tidak terlepas dari wartawan sebagai pencari dan penulis berita. Wartawan sebagai unsure penting dalam media massa harus terbuka dan tahu terhadap isu gender yang sedang berkembang sehingga penulisan berita yang bias gender dapat dihindari (Subono, 2003). Selain wartawan, kebijakan pemberitaan yang disampaikan sebuah media cetak kepada khalayak terdapat beberapa posisi penting dalam pengelolaan pemberitaan media. Di antaranya adalah editor yang bertanggungjawab dalam penyuntingan dan pengeditan sebuah naskah berita sebelum diterbitkan. Seorang editor memiliki peran besar dalam mengkonstruksi realitas dalam bentuk berita yang siap dipublikasikan. Ia sangat menentukan penampilan sebuah media cetak, karena ditangannya terdapat tanggungjawab besar dalam menentukan layak tidaknya sebuah berita dimuat, tentu dari tinjauan estetika dan etika berbahasa. Posisi menentukan lainnya adalah redaktur. Seorang redaktur memiliki wewenang untuk menentukan mana peristiwa yang layak diangkat menjadi berita sehingga apapun bentuk dan isi media tidak lepas dari bagaimana seorang redaktur menetapkan agenda media dalam operasionalnya.

Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian gender dan perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika mengartikan seks dan gender. Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab, baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke tempat dan adat yang lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial. 

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, timbul persoalan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Lebih lanjut, menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta sosialisasi ideologi peran gender. Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi feminis, yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemeresan terhadap wanita dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar, baik oleh perempuan atau pun laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut.

Pentingnya jurnalis dan institusi media mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender, sepertinya profesional media massa harus bekerja keras. Setidaknya, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu: pertama, kemampuan profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Akibatnya, hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (mainstream). Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proporsional, serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua, media massa belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi poitik, ataupun pemilik modal. Media massa yang seharusnya menjadi “watchdog” bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya, perempuan menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarkhi dan kapitalisme dengan dominasi laki-laki di dalamnya. Media seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek, tetapi berperan aktif sebagai subjek. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–peran publik dalam ruang publik.

Diskursus jurnalistik harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus menjadi pengguna kekerasan, pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan pelanggengan kultur ketidakadilan yang selama ini melingkupi perempuan. Kalau selama ini pendekatan jurnalisme yang dipakai media berpola konservatif, maka tidak menutup kemungkinan mengembangkannya menjadi jurnalisme progresif atau jurnalisme empati. Jurnalisme yang mengajarkan masyarakat mengembangkan sikap-sikap yang emansipatoris, kritis, noneksploitatif, nondiskriminatif, demokratis, tetap proposional dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah dasar jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya. Dalam menjalankan fungsinya sehari–hari, media setidaknya mempertimbangkan kepentingan praktis atau pun strategis perempuan. Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan, tetapi juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan berbias gender. Dimasukkannya media massa sebagai satu dari 12 landasan Aksi Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai karena pada peluang yang sama, media massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin memperburuk posisi perempuan.


C.  Posisi Perempuan dalam Industri Media

Peran perempuan dalam menyuarakan kepentingan perempuan belum tampak nyata dalam industri media. Hal ini tampak dari temuan Marjuni Rangkuti, dkk dalam penelitian mengenai “Pelibatan Wanita Dalam Organisasi Media Cetak Di Sumatera Utara”. Penelitian yang dilakukan terhadap 44 buah media cetak di Sumatera Utara, yang meliputi 13 buah surat kabar harian, 16 mingguan, 12 buah tabloid, dan tiga buah majalah tersebut menunjukkan wartawan laki-laki sebanyak 716 orang, sedangkan wartawan wanita 116 orang. Perbandingannya adalah sekitar 6 : 1, dalam arti 6 wartawan laki-laki banding 1 orang wartawan wanita. 
Lihat pula catatan Omi Intan Naomi (1997), pada tahun 1994 wartawati anggota PWI sebesar 8,6 %, sedangan pria 91,6 %. Pada tahun 1998 (Debra Yatim, 1998) catatan PWI menunjukkan ada sekitar 4.687 jurnalis laki-laki, dan hanya 461 perempuan. Data tersebut baru menunjukkan ketimpangan dari sisi kuantitas, belum lagi bila dikaji  berapa banyak perempuan yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan, yang tentu jumlah juga akan jauh lebih kecil. Sehingga sangat masuk akal bila isi media saat ini lebih merupakan konstruksi laki-laki. Ketimpangan dari sisi kuantitas ini sudah barang tentu sangat berpengaruh bagi lambannya pertumbuhan media yang memiliki kepekaan gender.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat mendorong lahirnya jurnalis dan media yang memiliki sensitifitas gender? Langkah-langkah yang harus dilakukan agar media yang ada semakin menyuarakan ketimpangan gender dalam ranah sosial kita?                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus memahami apa yang dimaksud dengan pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender. Kamla Basin (Nur Iman Subono, 2003) mengatakan, pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender harus memperhatikan : a. bentuk ketidakadilan gender (bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe atau label negatif terhadap kaum perempuan, beban kerja dan kekerasan serta sosialisasi keyakinan gender yang semakinmemojokkan perempuan. Semuanya saling berkait dan menguatkan yang kemudian dilestarikan oleh ideologi dan budaya patriakhi. b) tempat dimana ketidakadilan gender tersebut terjadi (yang bisa dipantau dari dari setiap tingkatan yakni mulai dari tingkat negara dan masyarakat hingga ke budaya dan keyakinan, tempat kerja, rumah tangga dan keyakinan pribadi.

D. Identifikasi Persoalan Gender dalam Dunia Jurnalistik

Bisa dikatakan hampir seluruh bidang yang ada bisa ditulis dalam perspektif gender. Misalnya politik (soal pemimpin perempuan, soal kepala keluarga), hukum (bagaimana hukum yang ada diskriminatif atau tidak terhadap perempuan, misalnya dalam urusan sebagai kepala keluarga terkait dengan pengupahan jika perempuan adalah seorang orangtua tunggal), masalah budaya (tradisi-tradisi tertentu misalnya terkait dengan seorang jejaka yang hendak berkeluarga mendapatkan layanan seks dari perempuan dewasa sebelumnya), lingkungan hidup (bagaimana perempuan juga turut berperan menjaga lingkungan hidup di sekitarnya) dan lain-lain.
Dalam hal dunia kerja, perempuan memiliki persoalan yang tidak sedikit. Mulai dari persoalan akses pada pekerjaan yang layak, upah yang layak, perlindungan dalam pekerjaan.
Dalam dunia pekerjaan jurnalistik, maka kita akan menemukan persoalan yang cukup banyak:
- Seberapa banyak kesempatan diberikan kepada perempuan untuk menjadi jurnalis?
- Apakah dalam pekerjaan ini dilakukan pembagian kerja berdasarkan gender (division of labor)?
- Apakah perempuan jurnalis dibayar lebih murah untuk pekerjaannya?
- Apakah perempuan mendapat hak-hak normatifnya sebagai pekerja perempuan? (hak cuti datang bulan, hak cuti sebelum dan setelah melahirkan, hak untuk pengasuhan anak)
- Apakah perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk dipromosikan dalam jabatan di kantor media


E. Cara Memasukkan Perspektif Gender dalam Newsroom

Bagaimana cara memasukkan perspektif gender dalam newsroom;
a.       Lihat komposisi ruang redaksi. Berapa banyak perempuan ada di dalamnya (walau tak bisa diandaikan pula semua perempuan memiliki perspektif gender)? Apakah perempuan dalam ruang redaksi jugaberperan sebagai pengambil keputusan? (berapa dari mereka yang jadi reporter, jadi redaktur, bahkan jadi pemimpin redaksi?).

b.      Perempuan yang menjadi redaktur pun tidak dimaksudkan hanya untuk menangani rubrik-rubrik ringan (masalah kewanitaan – yang sering dikonotasikan dengan rubric kecantikan, dapur, kuliner, kesehatan) tetapi juga untuk rubrik-rubrik ‘keras’ (ekonomi, politik, internasional 4 ) bahkan beberapa dari jurnalis ini harus siap juga untuk meliput situasi konflik misalnya.

c.       Setelah memeriksa ruang redaksi, periksa juga rubrikasi dan berita yang diangkat bagaimana perspektif gender masuk di dalamnya (misalnya dalam kasus perkosaan, apakah perlu ada reka ulang secara detil proses perkosaan dilakukan? Para feminis menyebut hal ini sebagai “perkosaan kedua” yang dilakukan oleh media kepada korban perkosaan. Dalam kasus lain misalnya bagaimana sistem transportasi yang ada tidak memberikan perlindungan kepada perempuan dalam hal pelecehan seksual? Jika ada liputan atas pembersihan oleh Satpol PP kepada para pekerja seks komersial, mengapa hal yang sama tak dilakukan kepadapara konsumennya.)

d.      Periksa juga daftar narasumber yang dipergunakan oleh media: Berapa banyak narasumber perempuan yang pernah wawancarai? Apakah anda memiliki database narasumber perempuan lain untuk bidang-bidang yang beragam (pengamat politik, pengamat ekonomi, wiraswasta, public figure, profil pengusaha yang berhasil, dan lain-lain)?

e.       Dalam rubrik opini (jika ada) seberapa banyak penulis perempuan diberi ruang atau kesempatan untuk menulis? (apakah mereka hanya menulis secara ‘tradisional’ pada momen peringatan hari Kartini bulan April dan hari Ibu bulan Desember? Apakah tidak ada momen lain yang bisa dimanfaatkan untuk menulis?). 

f.       Dari sisi data, apakah sudah cukup tersedia data-data yang memadai untuk anda menulis secara mendalam terkait isu-isu yang terkait dengan masalah perempuan dan dunia kerja ini? Jika anda belum memilikinya, kemanakah anda akan mencari informasi atau data terkait tersebut?

F. Mengetahui Sebera Penting untuk Memasukkan Isu Soal Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dalam Dunia Kerja

-  Ini hal yang telah lama terjadi namun kerap diabaikan untuk ditulis
- Ada bias dalam pandangan umum, dimana ada anggapan bahwa perempuan yang bekerja adalah ‘second income’ di rumah tangganya, sehingga untuk itu ‘dianggap wajar’ jika jumlahnya lebih kecil. Dalam kenyataannya ada banyak hal yang tidak bisa digeneralisir. Bagaimana dengan orangtua tunggal (single parent) dari pasangan yang bercerai, dan dalam hal ini perempuan yang bekerja jadi satu-satunya tumpuan penghasilan. Apakah patut kemudian income ini diperkecil atas dasar asumsi di atas

- Asumsi di atas pun lalu mengecilkan sistem reward yang berdasarkan pada merit system, bahwa orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah dikerjakan atau yang jadi prestasinya, bukan berdasarkan pada pertimbangan gender yang ada

- Perempuan adalah tenaga kerja yang potensial baik di sektor formal dan informal. Khusus dalam sektor informal kita melihat bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh para perempuan untuk bergulat menghidupi diri dan keluarganya. Misalnya: para pedagang sayur yang telah keluar rumah sejak jam 3-4 pagi. Para penyapu jalanan, pedagang kaki lima (nasi uduk, lontong sayur dll).

- Media yang angkat masalah ini akan membuat mata masyarakat umum dalam melihat ketimpangan yang selama ini terjadi, dan mengajak masyarakat untuk sama-sama mencari solusi atas persoalan dan bias yang terjadi baik dalam masyarakat ataupun media selama ini.

G. Langkah Strategis Peran Perempuan dalam Media

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan perlu dilakukan langkah-langkah strategis, sebab membongkar kontruksi sosial tentang gender memerlukan perjuangan dari segala lini. Begitu pun bila kita ingin mewujudkan media yang responsif gender. Langkah-langkah tersebut adalah:
Pertama, menjalin kerjasama dengan pengelola media penentu kebijakan yang telah memiliki sensitifitas gender serta menularkan ‘virus’ gender kepada pengelola media yang lain. Tidak cukup hanya memberikan pemahaman tentang persoalan gender kepada para pekerja media pada level bawah, karena keputusan akhir ada pada pimpinan redaksi.
Kedua, melibatkan para pengambil keputusan dalam industri media agar sajian mereka lebih memperhatikan persoalan-persoalan gender.
Ketiga, menjalin kerjasama serta memperbanyak kampanye tentang gender kepada para pengambil kebijakan dalam industri hulu yang membuat program siaran (production house), maupun biro iklan;
Keempat, melaksanakan pelatihan jurnalisme berperspektif gender kepada pengelola/pengambil keputusan maupun jurnalis lapangan agar mereka memahami dan memiliki sensitifitas gender, serta responsif terhadap persoalan-persoalan gender;
Kelima, menjalin kerjasama dengan orang-orang atau lembaga yang memiliki kepedulian terhadap kesetaraan gender.
Keenam, yang tak kalah penting adalah melakukan riset nasional untuk memetakan keberadaan wartawan maupun pemahaman tentang gender serta keterlibatannya dalam pengambilan keputusan manajemen media, dikalangan jurnalis lapangan maupun di tingkat manajer.
Semua langkah itu dilakukan bukan hanya dengan perempuan yang terlibat dalan industri media, namun juga laki-laki, seperti tokoh Bayu yang dicela oleh Soni sebagai feminis laki-laki.

H. Contoh Kesejahteraan Gender dalam Media
Dalam level media nasional kita mengenal para perempuan jurnalis seperti Najwa Shihab yang sekarang menjadi pemimpin redaksi Metro TV, Rosiana Silalahi mantan pemimpin redaksi Liputan 6 SCTV, Retno Shanti mantan Wapemred Metro TV, jurnalis senior Kompas Maria Hartiiningsih, Ninuk Pambudi wakil redaktur pelaksana, redaktur senior Kompas Myna Ratna, Leila S. Chudori, mantan redaktur eksekutif majalah Temppo, Hermien Kleden wakil pemimpin redaksi majalah Tempo English edition, Toeti Adhitama, Yulia Supadmo, Uni Lubis dan lain-lain. Mereka-mereka adalah jurnalis perempuan yang juga menduduki posisi-posisi penting di media masing-masing.

Dahulu di Kompas misalnya ada wartawati RIen Kuntari yang menguasai liputan luar negeri. Di majalah Tempo adalah Purwandari yang juga sangat menguasai rubrik ini, berikut dengan para narasumber yang relevan..

Dilihat dari pembahasan dan beberapa contoh yang telah dipaparkan diatas ,kita bisa melihat bahwa pada zaman sekarang gender tidak terlalu dipermasalahkan dalam dunia media. Kita bisa lihat contoh diatas ,banyak wanita-wanita yang menjadi pimpinan dalam dunia media. Jadi pemimpin dalam sebuah pekerjaan tidak lagi identik dengan laki-laki.

  
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan pemberitaan surat kabar masih rendah, Berdasarkan data Persatuan Wartawan Indonesia, hingga tahun 2003 jumlah wartawan perempuan di Indonesia hanya berkisar 10,5% atau 1.079 orang dari 10.278 anggota PWI yang terdaftar
2. Perempuan yang bekerja dalam media cetak kebanyakan hanya ditempatkan pada bagian administrasi, promosi dan periklanan. Jika menjadi wartawan, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya perempuan lebih banyak ditempatkan pada desk yang dianggap lunak seperti hiburan, ekonomi, iptek, pendidikan dan budaya.
3. Pengelolaan surat kabar belum memiliki standar penulisan yang sensitif gender. Selain itu pengelola pemberitaan surat kabar tidak memberikan bekal pengetahuan secara khusus kepada wartawan tentang metode penulisan dan pengeditan berita yang sensitive gender sehingga wartawan hanya menggunakan frame berpikir masingmasing dalam memproduksi berita yang berkaitan dengan gender.

B.   Saran
Dengan adanya perbedaan jenis kelamin yang secara alami sudah ada dalam diri seseorang sebagai pemberian Tuhan YME yang tidak dapat ditawar lagi. Kita sebagai mahkluk sosial yang demokratis dan saling membutuhkan harus saling menghormati dan menghargai semua orang tanpa memandang gender. Karena pada hakikatnya semua gender mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia sehingga harus mempunyai kesempatan yang sama pula dalam semua hal yang bersifat non-kodrati. Agar kemanpuan yang dimiliki tersebut dapat diekspresikan dengan maksimal untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu dan taraf hidup individu itu sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.



1 komentar:

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com