Saya menghela napas tepat setelah menginjakan kaki di depan
rumah, “hah…selamat hari senin lagi”. Saya berniat ke kantor bapak terlebih
dahulu, letaknya di ujung lorong 15 meter dari rumah. Siang ini terik sekali,
matahari serasa membakar punggung. Sebenarnya senin tidak harus saya identikan
dengan hal yang mematahkan semangat, namun jadwal kuliah saya diawal pekan
pukul 12.30 WITA, tanpa diniatkanpun langkah menuju kantor bapak diiringi
keluhan, belum lagi jika melihat tempat pembuangan sampah yang tidak tertata
sekitar 5 meter dari rumah.
Hari ini rencananya saya berangkat
ke kampus dengan bapak. Saya ke kampus dan bapak menjemput mitha, adik saya di
sekolah. Hari ini dia ujian nasional. Setibanya dikantor, saya memberi salam
seiring langkah kaki saya masuk ke dalam, namun tak ada balasan. Saya memanggil
bapak sambil berjalan menuju dapur, ternyata bapak juga tidak ada di sana,
setelah berbalik ke ruang utama, pandangan saya tertuju ke kamar yang pintunya terbuka,
rupanya bapak sedang sholat. Saya duduk sejenak sambil menunggu bapak selesai
shalat, sekalian buka pinterest, berhubung hari ini kuliah desain grafis, saya
coba cari referensi desain logo. Minggu kemarin pak Arya, dosen desain grafis
menyampaikan bahwa minggu ini kami akan belajar membuat logo, jadi setidaknya
saya harus banyak melhat jenis-jenis logo.
Saya melirik kearah kamar, bapak
sedang melipat sajadah kemudian keluar menuju ruang utama, saya mengajaknya
untuk berangkat bersama. Tanpa menjawab, bapak mengambil tas dan berjalan ke
pintu keluar. Buru-buru kututup pinterestku lalu mengikutinya keluar. Sekitar
pukul 12.40 wita kami berangkat, sejenak mobil mulai melewati portal perumahan
kemudian berbelok kearah jalan utama.
Jarak antara rumah dan
jalan utama hanya sekitar 300 meter, namun pada situasi dan kondisi tertentu
butuh waktu lama untuk menyusuri jalan ini. Barisan kendaraan yang terparkir di
depan warung makan bisa menimbulkan kemacetan, dan celakanya warung makan bisa
sampai belasan di sepanjang jalan ini, bukan hanya itu, salah parkir, banjir, jumlah
kendaraan padat dari masing-masing arah juga bisa menimbulkan kemacetan.
Tempat tinggalku berada di kawasan
pendidikan, deretan kampus berjejer seperti STIMIK Dipanegara, STIK Akba, Poleteknik
Negeri Ujung Pandang, Universitas Islam Makassar, Universitas Hasanuddin, dan
masih banyak lagi. Banyaknya kampus yang bertempat di daerah inilah yang
menjadi cikal bakal Tamalanrea dicanangkan sebagai kawasan pendidikan. Hal ini
termuat dalam peraturan daerah kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Tata
Ruang Wilayah Kota Makassar. Hal ini pulalah yang membuat warung makan dan
kos-kosan di tiap jalan arteri sekitar Tamalanrea menjamur, termasuk Jalan
Bung, termpat tinggal saya.
Menjelang keluar kearah jalan utama,
kembali jalan menjadi padat kendaraan, padahal gerbang Jalan Bung sudah didepan
mata. Ada pemandangan unik di sudut kanan jalan, sebuah meja persegi berukuran
1x1 meter dikelilingi beberapa laki-laki, satu diantaranya sedang jongkok dibelakang
meja sambil mengamati batu di tangannya, sesekali batu itu ia tiup, kemudian
diusap dengan kain yang dipegang ditangan yang satunya, kemudian diamati lagi,
begitu seterusnya.
Jalan masih macet, kendaraan sulit
bergerak. Seorang laki-laki melintas di depan mobil yang memang sedang
berhenti, ia menuju ke tempat penjualan batu akik.
“Allei
otonuuee” setengah berteriak.
Pelanggan
yang tadi fokus melihat batu akik kaget dan berbalik, kemudian sadar jalan
disekitar mereka macet karena motor yang mereka parkir sembarangan. Bapak
tertawa, bapak juga senang dengan batu akik, tapi jauh sebelum deman batu akik seheboh
saat ini.
Setelah keluar dari kemacetan tadi,
kendaraan belok ke kiri memasuki jalan utama. Kiri-kanan terlihat Ruko dan Toko
entah itu Foto Kopi, penjualan alat
tulis atau jasa pengetikan, namun semakin ke selatan, Ruko dan Toko tadi
berubah menjadi Rumah Bernyanyi, Warkop, Mall, dan lain sebagainya. Tepatnya
disekitar STIMIK Dipanegara, saya teringat dengan kultwit salah-satu akun anonym
yang mengkritik kawasan Tamalanrea yang dikenal sebagai kawasan pendidikan
sudah menuju ke kawasan hiburan.
“Kira-kira ujiannya Mitha
bagaimana?” bapak membuka percakapan, mengalihkan pikiran saya yang sejak tadi fokus
dengan jalan Tamalanrea.
“Insyaallah baik, kita dengar saja
bagaimana laporannya nanti” jawabku.
Bapak
nampaknya khawatir, hal ini saya rasa wajar bagi orang tua. Tiba-tiba handphone
bapak berbunyi, Bapak akhir-akhir ini memang sibuk sekali, pikirku. Saya
mengecilkan volume radio agar bapak dapat mendengar suara dari handphonenya
dengan jelas. Saya kembali memandang jalan menuju kampus, Samar-samar terdengar
lagu budi doremi mengalun indah.
Menjelang kendaraan berbelok ke
jalan Prof. Abdurahman Basalam, saya memperhatikan “Pak Ogah” sebutan bagi
orang yang membantu kendaraan memutar di perempatan jalan. Fenomena ini memang
sudah sejak beberapa tahun terakhir menjadi pro dan kontra dikalangan
masyarakat. Kehadiran mereka sudah menjamur di beberapa titik jalan kota Makassar. Bapak juga selalu menyiapkan
uang receh sebagai upah jasa memutar kendaraan kepada pak ogah.
Setelah berbelok, kami kembali
disambut barisan kendaraan yang berjejer di salah-satu warung makan, memang
saat ini jam makan siang. Kulihat beberapa orang baru masuk ke dalam warung
makan yang bertulis “Rumah Makan Seruni” pada kain berukuran 3x2 yang terikat
pada sisi atas Warung, dan beberapa lagi sedang mengatur posisi motornya, tapi
tetap saja masih macet.
“Ternyata pegawai Rumah Sakit
Wahidin juga makan disini, jauh sekali” bapak heran sambil melihat kearah
warung makan tersebut. Saya berbalik tapi tak dapat mengenali mana pegawai Rumah
Sakit Wahidin.
“Bapak tahu dia pegawai dari
mananya?” tanyaku bingung
“Dari seragamnya” jawab bapak
singkat.
Jalan Prof.
Abdurahman Basalamah dalan kondisi dan waktu tertentu juga dapan macet, selain
karena hal tadi, jalan ini juga langganan banjir saat musim hujan. Saya pikir
Tata ruang kota Makassar harus segera dibenahi.
10 meter sebelum melewati Masjid
kami melihat beberapa laki-laki berjalan dengan mengenakan pakaian serba putih.
“Itu ISIS!” canda bapak sambil
menunjuk mereka.
Saya
tersenyum “Mana bisa langsung disimpulakan begitu, bisa sajakan mereka jemaah
tablig atau musafir”
“Tapi kan ISIS berasal dari itu
juga” sambung bapak dengan enteng.
“Yah mana bisa kita tahu mereka ISIS
atau bukan kalau cuman sekedar melihat cara berpakaian mereka” jawabku serius.
Obrolan
mengenai ISIS berakhir setelah mobil berhenti di depan kampus. Kulihat ada
tenda yang berdiri di depan Pelataran Aula.
“Ada kegiatan apa dikampus” tanya
bapak sambil melihat kearah pelataran aula.
“Saya belum tahu, mungkin seminar”
jawabku sekenanya lalu berpamitan.
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.