BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara banyak persoalan media
massa Indonesia yang tidak sensitif gender saat ini, setidaknya terdapat empat
isu penting. Pertama, media massa masih memberi tempat bagi proses
legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi perempuan.
Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai citra dan teks pemberitaan, iklan,
film, sinetron dan produk media massa lainnya. Yang ditampilkan adalah kondisi
perempuan sebagai objek, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti molek,
seronok, seksi, dan sejenisnya. Dalam pemberitaan kasus kriminal,
perkosaan misalnya, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang seolah
ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban
kejahatan kaum laki-laki. Di sisi lain penempatan (positioning)
perempuan sebagai korban (survivor) atau saat menjadi pelaku/tersangka
juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih berorientasi
seksual (sex-oriented), seperti “dipaksa melayani nafsu”, “bertubuh
molek”, dan sebagainya.
Kedua, dalam aktivitas media sangat
sedikit kaum perempuan terlibat menjadi pekerja media. Persoalan kuantitatif
ini barangkali tidak terlalu parah bila di antara jumlah yang sedikit tersebut
para jurnalis perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya, karena
umumnya mereka masuk dalam dunia jurnalistik yang sangat maskulin,
ukuran-ukuran pemberitaan yang digunakan masih menggunakan ukuran laki-laki
sebagai pihak dominan dalam pengambilan keputusan. Tulisan-tulisan yang
disajikan para jurnalis perempuan pun sudah dikondisikan dalam “pola laki-laki”
(male patterns). Seandainya ada jurnalis perempuan yang concern
terhadap sensitifitas gender, hanya menempati posisi yang kurang penting dalam
jajaran dewan pengurus media. Bahkan dalam sejarah pers Indonesia, nama-nama
tokoh pers pun cenderung dihegemoni nama “laki-laki”.
Ketiga, kepentingan ekonomi dan politik
menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih
permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Perempuan dan segala stereotipe-nya
dalam pandangan media massa adalah komoditas yang laku dijual. Media massa, di
Indonesia, sebagai bagian dari lingkaran produksi yang berorientasi pasar
menyadari adanya nilai jual yang dimiliki perempuan, terutama sebagai pasar
potensial. Kondisi kultural ini didukung pula oleh permasalahan kultural di
level organisasional media, terutama masalah coorporate culture yang
masih sangat patriarkis.
Keempat, regulasi media yang ada saaat ini
tidak sensitif gender, Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers misalnya, kurang
memperhatikan masalah-masalah perempuan dan media. Ditambah lagi, aturan-aturan
normatif lainnya yang selama ini sudah ada pun kurang atau bahkan tidak ditaati
oleh para pekerja media.
Di tengah banyaknya tuntutan agar
jurnalisme konvensional yang selama ini ada dirombak dan disesuaiakan dengan
kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka muncullah konsep-konsep jurnalisme yang
bermuatan humanitarian, seperti jurnalisme damai, jurnalisme multikultur,
jurnalisme empati dan sebagainya. Jurnalisme sensitif gender termasuk salah
satu pendekatan yang dipakai guna mengatasi bias gender dalam pemberitaan
media.
Diskusi mengenai “gender” dalam dunia
akademik bahkan dalam konteks media massa banyak dipahami dari sudut pandang
kekerasan terhadap perempuan, artinya perempuan dalam posisi tertentu
diletakkan sebagai pajangan untuk kepentingan produk sehingga perempuan
tersubordinasi dalam posisinya di dunia jurnalisme. Sejatinya, dengan intensnya
diskusi dan pewacanaan mengenai gender dapat memberikan pelajaran yang berarti
dalam kehidupan sosial, khususnya interrelasi sosial antara laki-laki dan
perempuan. Alih-alih terjadi kesetaraan, media dalam beberapa kasus malah
mendorong munculnya berbagai macam kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Berbagai macam pemberitaan mengenai kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam
lingkup domestik ataupun di dalam wilayah publik, juga menjadi sorotan tajam
para pemerhati gender. Isu yang mereka kembangkan biasanya mencakup hal mengapa
pers seakan enggan untuk mengemas peristiwa-peristiwa kriminalitas dan
kekerasan terhadap
perempuan dan anak
dalam persfektif responsif gender. Sering dijumpai dalam pemberitaan mengenai
perkosaan, media massa masih menggunakan bahasa yang tidak pantas dan lucu
dalam penyajiannyan dengan mengedepankan pemberitaan aktivitas seksualnya,
bukan perkara kriminalnya yang ditonjolkan.
Muatan berita yang dapat mendorong
dekonstruksi nilai patrilineal ke arah yang lebih positif dalam arti
memanusiakan perempuan, dapat diduga tidak akan mengurangi nilai berita atas
suatu peristiwa yang dihasilkan sebagai sebuah berita (news).
Mengembangkan isu-isu pemberitaan yang lebih produktif, semacam penampilan
perempuan dalam panggung publik akan lebih baik dari sekedar menampilkan
pemberitaan tentang perempuan yang stereotipe, seperti hanya menampilkan daya
tarik seksual.
Begitu banyak faktor determinan yang
bisa disebutkan untuk menjelaskan mengapa media cenderung bias gender. Ini
lantaran media merupakan ruang bagi laki-laki untuk menyatakan eksistensi
mereka. Media selanjutnya dilabelisasi berkelamin laki-laki. Kurangnya jurnalis
perempuan, seringkali bukan karena ketidakmampuan perempuan dalam melaksanakan
tugas-tugas jurnalistik namun karena pekerjaan ini memang sudah dipasangi tanda
“dilarang masuk” bagi perempuan. Berdasarkan data Persatuan Wartawan Indonesia,
hingga tahun 2003 jumlah wartawan perempuan di Indonesia hanya berkisar 10,5%
atau 1.079 orang dari 10.278 anggota PWI yang terdaftar (Hendraningrum, 2005)
Selain itu, karena kekurangtahuan (unwell-informed) para pekerja pers
terhadap isu gender, (Lan, 2005 ). Ketimpangan antara jumlah laki-laki dengan
perempuan dalam pengelolaan media bukan berarti bahwa dengan demikian media
selalu bias gender, pun sebaliknya. Bisa saja sebuah lembaga media dikelola
oleh perempuan tetapi tampilan berita sebagai konstruksi realitas sebuah
peristiwa yang berkaitan dengan gender tidak berpihak
terhadap perempuan.
Dalam konteks lokal persoalan serupa
menjadi wacana menarik dalam setiap perdebatan yang berkaitan dengan media dan
perempuan. Hal ini dapat dilihat dari masih seksisnya tampilan media dalam
pemberitaan. Seorang korban pemerkosaan misalnya, kadang justru diberitakan
dalam posisi yang dihakimi sebagai perempuan penggoda. Tidak cukup sampai
disitu, media juga masih tetap menggambarkan perempuan yang baik itu adalah ibu
yang tinggal dirumah menjaga anak dan menunggu keluarga dan kalaupun mengakui
aktivitas perempuan di ruang publik, media tetap melekatkan image bahwa
keberhasilan yang diperoleh perempuan itu adalah hasil kompromi laki-laki bukan
karena prestasi perempuan sendiri.
B. Tujuan
Setelah membaca materi ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mampu
mengetahui tentang perspektif gender. Di samping itu mahasiswa mengetahui
tentang pengertian seks dan gender, gender dan stratifikasi, gender dan
sosialisasi, gender dan pekerjaan, gender dan pendidikan serta bagaiman gender
mempengaruhi pengambilan keputisan dalam produksi media. Selain itu, penyusunan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi
tentang ”Gender dan Produksi Media”
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang pemikiran di atas, maka substansi pertanyaan yang ingin dijawab
dalam makalah ini adalah :
1.
Konsepsi Gender
2.
Gender dalam media
massa
3.
Posisi perempuan dalam
industri media
4.
Identifikasi
persoalan gender dalam dunia juralistik
5.
Cara memasukkan
perspektif gender dalam newsroom
6.
Mengetahui mengapa
penting untuk memasukkan isu soal perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam
dunia kerja?
7.
Langkah strategis peran
perempua dalam media
8.
Contoh kesetaraan
gender dalam media
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsepsi Gender
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu bentuk
analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley (1972, Dalam Fakih, 1997). Setelah itu
gender kemudian dijadikan salah satu alat analisis yang baik untuk memahami
persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Sama dengan
penggunaan teori marxisme untuk memahami persoalan kerimpangan sosial antara
kelas borjuis dengan kaum buruh. Sejalan juga dengan teori hegemoni Antonio
Gramsci dalam memahami kekuasaan negara atas masyarakatnya.
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin didasarkan pada
perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis dan anatomi tubuh. Misalnya
laki-laki memiliki jakun, testis, penis, memproduksi sperma serta ciri-ciri
lain berbeda dengan perempuan. Sementara perempuan mempunyai alat reproduksi
seperti rahim, dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi indung telur,
vagina, payudara dengan air susu, dan ala biologis perempuan lainnya sehingga
bisa haid, hamil dan menyusui yang disebut kemudian sebagai alat reproduksi
(Lisa Tuttle dalam Fakih, 1997).
Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui
proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi
sosial, cultural dan keagamaan, bahkan melalui kekuasaan Negara. Karena
prosesnya yang begitu panjang sehingga lama-kelamaan perbedaan gender antara
laki-laki dan perempuan seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak
dapat dirubah (Engels dalam Fakih, 1997).
Proses sosialisasi konstruksi sosial tentang gender secara evolusi
pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis masingmasing jenis
kelamin. Seorang laki-laki dituntut untuk kuat, agresif sehingga laki-laki
termotivasi dan terlatih untuk mempertahankan sifat tersebut dan akhinya
laki-laki menjadi lebih kuat dan lebih besar.
Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu dipahami,
yaitu :
a. Ketidakadilan dan diskriminasi gender
Ketidakadilan
dan diskriminasi dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat
dari sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan dan laki-laki menjadi
korban dari sistem tersebut. Berbagai perbedaan peran dan kedudukan antara
perempuan dan laki-laki baik secara langsung berupa dampak suatu peraturan
perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan
yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur
yang ada di masyarakat. Seperti : marginalisasi, subordinasi, stereotip
(pelabelan) dan kekerasan (violence).
b. Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan
gender berarti perempuan dan laki-laki menikmati satatus yang sama dan memiliki
kondisi yang sama untuk menggunakan hakhaknya dan kemampuannya secara penuh
dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, sosial dan budaya.
Kesetaraan
gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan
dan perbedaan antara perempuan dan lakilaki, dan atas peran yang mereka lakukan
(Hendraningrum, 2005). Satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam
pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dansemua kerja yang
dilakukan perempuan seperti ; kerja produktif, reproduktif, privat dan public
danm menolak upaya apapun untuk menilai rendah pekerjaan mempertahankan
keluarga dan rumah tangga yang kemudian dikenal dengan “pemberdayaan” atau
secara lebih umum dikenal dengan “Gender dan Pembangunan” (Gender And Development-GAD)
terhadap perempuan dalam pembangunan (Mosse,2002)
B. Gender dalam Media Massa
Budaya patriarki yang amat kuat dan mewarnai berbagai sector
kehidupan di Indonesia menyebabkan hampir seluruh aktivitas hidup diwarnai
ketimpangan gender. Hampir seluruh bidang atau sektor yang diterjuni perempuan
tidak terlepas dari kontrol laki-laki. Kontrol laki-laki dan sistem patriarki
tersebut bisa berupa daya produktif atau tenaga kerja perempuan, reproduksi
perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan, gerak perempuan, harta milik dan
sumber daya ekonomi lainnya (Basin,1996).
Budaya patriarki yang kuat tersebut tercermin pula dalam
pemberitaan media massa. Hal ini terjadi karena pada dasarnya media massa
adalah cermin dan refleksi dari kondisi sosial budaya masyarakat. Pandangan
yang bias dari seorang wartawan dan media terhadap patriarki, akhirnya
menghasilkan pula pemberitaan yang bias terhadap perempuan. Pemberitaan yang
bias terhadap perempuan dalam media massa secara sadar atau tidak turut
memberikan andil melanggengkan keyakinan budaya patriarki yang tidak adil itu,
sehingga peran publik yang dimainkan perempuan sulit ditemukan dalam
pemberitaan media (Atmonobudi, 2004) . Misalnya masih sedikit pemberitaan
mengenai pemimpin, ilmuan, ulama dan lain-lainnya yang perempuan. Padahal
diharapkan pemberitaan media dapat mendorong perempuan untuk lebih berdaya
dalam peran publik dan tidak begitu saja menerima stereotip yang dilekatkan
kepadanya.
Penyajian informasi pada media massa tidak terlepas dari wartawan
sebagai pencari dan penulis berita. Wartawan sebagai unsure penting dalam media
massa harus terbuka dan tahu terhadap isu gender yang sedang berkembang
sehingga penulisan berita yang bias gender dapat dihindari (Subono, 2003).
Selain wartawan, kebijakan pemberitaan yang disampaikan sebuah media cetak
kepada khalayak terdapat beberapa posisi penting dalam pengelolaan pemberitaan
media. Di antaranya adalah editor yang bertanggungjawab dalam penyuntingan dan
pengeditan sebuah naskah berita sebelum diterbitkan. Seorang editor memiliki
peran besar dalam mengkonstruksi realitas dalam bentuk berita yang siap
dipublikasikan. Ia sangat menentukan penampilan sebuah media cetak, karena
ditangannya terdapat tanggungjawab besar dalam menentukan layak tidaknya sebuah
berita dimuat, tentu dari tinjauan estetika dan etika berbahasa. Posisi
menentukan lainnya adalah redaktur. Seorang redaktur memiliki wewenang untuk
menentukan mana peristiwa yang layak diangkat menjadi berita sehingga apapun
bentuk dan isi media tidak lepas dari bagaimana seorang redaktur menetapkan
agenda media dalam operasionalnya.
Media adalah salah satu
instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang
memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang
efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Sebelum
membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media
terhadap permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian
gender dan perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika
mengartikan seks dan gender. Pengertian gender adalah pembagian peran serta
tanggung jawab, baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun
budaya. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional,
sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan
kodrat Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang.
Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan,
berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke tempat dan adat yang
lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau
ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi
sosial.
Perbedaan gender
sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.
Namun, timbul persoalan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan. Walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban
ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi
sebagai korban ketidakadilan gender. Lebih lanjut, menurut Mansour Fakih,
ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di
antaranya marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, atau
melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta
sosialisasi ideologi peran gender. Ketidakadilan gender inilah yang digugat
ideologi feminis, yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan
pemeresan terhadap wanita dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun
dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar, baik oleh
perempuan atau pun laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut.
Pentingnya jurnalis dan
institusi media mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan,
dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender, sepertinya
profesional media massa harus bekerja keras. Setidaknya, ada beberapa prinsip
dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu: pertama, kemampuan profesional, etika
dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah.
Akibatnya, hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan
perempuan pada arus utama (mainstream). Penumbuhan rasa empati terhadap
ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media
untuk bertindak fair, proporsional, serta berimbang dalam memberitakan
kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua,
media massa belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi
kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi
poitik, ataupun pemilik modal. Media massa yang seharusnya menjadi “watchdog”
bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena
lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya, perempuan
menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam
media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya
saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh
budaya patriarkhi dan kapitalisme dengan dominasi laki-laki di dalamnya. Media
seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan
tidak lagi sebagai objek, tetapi berperan aktif sebagai subjek. Keempat, perlu pengubahan paradigma
pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai.
Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek
iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya
menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–peran
publik dalam ruang publik.
Diskursus jurnalistik
harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus menjadi pengguna kekerasan,
pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan pelanggengan kultur ketidakadilan
yang selama ini melingkupi perempuan. Kalau selama ini pendekatan jurnalisme
yang dipakai media berpola konservatif, maka tidak menutup kemungkinan
mengembangkannya menjadi jurnalisme progresif atau jurnalisme empati.
Jurnalisme yang mengajarkan masyarakat mengembangkan sikap-sikap yang
emansipatoris, kritis, noneksploitatif, nondiskriminatif, demokratis, tetap
proposional dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah dasar jurnalistik yang
telah disepakati sebelumnya. Dalam menjalankan fungsinya sehari–hari, media
setidaknya mempertimbangkan kepentingan praktis atau pun strategis perempuan.
Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah
cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan, tetapi juga
diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan
berbias gender. Dimasukkannya media massa sebagai satu dari 12 landasan Aksi
Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis
untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Media massa
mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan
dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai karena pada peluang yang sama,
media massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin
memperburuk posisi perempuan.
C.
Posisi Perempuan dalam Industri Media
Peran perempuan
dalam menyuarakan kepentingan perempuan belum tampak nyata dalam industri
media. Hal ini tampak dari temuan Marjuni Rangkuti, dkk dalam penelitian
mengenai “Pelibatan Wanita Dalam
Organisasi Media Cetak Di Sumatera Utara”. Penelitian yang dilakukan terhadap
44 buah media cetak di Sumatera Utara, yang meliputi 13 buah surat kabar
harian, 16 mingguan, 12 buah tabloid, dan tiga buah majalah tersebut menunjukkan wartawan
laki-laki sebanyak 716 orang, sedangkan wartawan wanita 116 orang.
Perbandingannya adalah sekitar 6 : 1, dalam arti 6 wartawan laki-laki banding 1
orang wartawan wanita.
Lihat pula
catatan Omi Intan Naomi (1997), pada tahun 1994 wartawati anggota PWI sebesar
8,6 %, sedangan pria 91,6 %. Pada tahun 1998 (Debra Yatim, 1998) catatan PWI menunjukkan
ada sekitar 4.687 jurnalis laki-laki, dan hanya 461 perempuan. Data tersebut
baru menunjukkan ketimpangan dari sisi kuantitas, belum lagi bila dikaji berapa banyak perempuan yang menduduki posisi
sebagai pengambil kebijakan, yang tentu jumlah juga akan jauh lebih kecil.
Sehingga sangat masuk akal bila isi media saat ini lebih merupakan konstruksi
laki-laki. Ketimpangan dari sisi kuantitas ini sudah barang tentu sangat
berpengaruh bagi lambannya pertumbuhan media yang memiliki kepekaan gender.
Persoalannya
kemudian adalah bagaimana kita dapat mendorong lahirnya jurnalis dan media yang
memiliki sensitifitas gender? Langkah-langkah yang harus dilakukan agar media
yang ada semakin menyuarakan ketimpangan gender dalam ranah sosial kita?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus memahami apa yang dimaksud dengan
pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender. Kamla Basin (Nur Iman
Subono, 2003) mengatakan, pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender
harus memperhatikan : a. bentuk ketidakadilan gender (bentuk marjinalisasi,
subordinasi, stereotipe atau label negatif terhadap kaum perempuan, beban kerja
dan kekerasan serta sosialisasi keyakinan gender yang semakinmemojokkan perempuan.
Semuanya saling berkait dan menguatkan yang kemudian dilestarikan oleh ideologi
dan budaya patriakhi. b) tempat dimana ketidakadilan gender tersebut terjadi
(yang bisa dipantau dari dari setiap tingkatan yakni mulai dari tingkat negara
dan masyarakat hingga ke budaya dan keyakinan, tempat kerja, rumah tangga dan
keyakinan pribadi.
D. Identifikasi
Persoalan Gender dalam Dunia Jurnalistik
Bisa
dikatakan hampir seluruh bidang yang ada bisa ditulis dalam perspektif gender. Misalnya
politik (soal pemimpin perempuan, soal kepala keluarga), hukum (bagaimana hukum
yang ada diskriminatif atau tidak terhadap perempuan, misalnya dalam urusan
sebagai kepala keluarga terkait dengan pengupahan jika perempuan adalah seorang
orangtua tunggal), masalah budaya (tradisi-tradisi tertentu misalnya terkait
dengan seorang jejaka yang hendak berkeluarga mendapatkan layanan seks dari
perempuan dewasa sebelumnya), lingkungan hidup (bagaimana perempuan juga turut
berperan menjaga lingkungan hidup di sekitarnya) dan lain-lain.
Dalam
hal dunia kerja, perempuan memiliki persoalan yang tidak sedikit. Mulai dari
persoalan akses pada pekerjaan yang layak, upah yang layak, perlindungan dalam
pekerjaan.
Dalam
dunia pekerjaan jurnalistik, maka kita akan menemukan persoalan yang cukup
banyak:
- Seberapa banyak kesempatan diberikan
kepada perempuan untuk menjadi jurnalis?
-
Apakah dalam pekerjaan ini dilakukan pembagian kerja berdasarkan gender (division
of labor)?
-
Apakah perempuan jurnalis dibayar lebih murah untuk pekerjaannya?
-
Apakah perempuan mendapat hak-hak normatifnya sebagai pekerja perempuan? (hak
cuti datang bulan, hak cuti sebelum dan setelah melahirkan, hak untuk
pengasuhan anak)
-
Apakah perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk dipromosikan dalam jabatan
di kantor media
E. Cara Memasukkan
Perspektif Gender dalam Newsroom
Bagaimana cara memasukkan
perspektif gender dalam newsroom;
a.
Lihat komposisi ruang redaksi. Berapa banyak perempuan ada di dalamnya
(walau tak bisa diandaikan pula semua perempuan memiliki perspektif gender)?
Apakah perempuan dalam ruang redaksi jugaberperan sebagai pengambil keputusan?
(berapa dari mereka yang jadi reporter, jadi redaktur, bahkan jadi pemimpin
redaksi?).
b.
Perempuan yang
menjadi redaktur pun tidak dimaksudkan hanya untuk menangani
rubrik-rubrik ringan (masalah kewanitaan – yang sering dikonotasikan dengan
rubric kecantikan, dapur, kuliner, kesehatan) tetapi juga untuk rubrik-rubrik
‘keras’ (ekonomi, politik, internasional 4 ) bahkan beberapa dari jurnalis ini
harus siap juga untuk meliput situasi konflik misalnya.
c.
Setelah memeriksa ruang redaksi, periksa
juga rubrikasi dan berita yang
diangkat bagaimana perspektif gender masuk di dalamnya (misalnya dalam kasus
perkosaan, apakah perlu ada reka ulang secara detil proses perkosaan dilakukan?
Para feminis menyebut hal ini sebagai “perkosaan kedua” yang dilakukan oleh
media kepada korban perkosaan. Dalam kasus lain misalnya bagaimana sistem
transportasi yang ada tidak memberikan perlindungan kepada perempuan dalam hal
pelecehan seksual? Jika ada liputan atas pembersihan oleh Satpol PP kepada para
pekerja seks komersial, mengapa hal yang sama tak dilakukan kepadapara
konsumennya.)
d.
Periksa juga daftar narasumber yang dipergunakan oleh media: Berapa banyak
narasumber perempuan yang pernah wawancarai? Apakah anda memiliki database
narasumber perempuan lain untuk bidang-bidang yang beragam (pengamat politik,
pengamat ekonomi, wiraswasta, public figure, profil pengusaha yang berhasil,
dan lain-lain)?
e.
Dalam rubrik opini (jika ada) seberapa banyak penulis perempuan diberi
ruang atau kesempatan untuk menulis? (apakah mereka hanya menulis secara ‘tradisional’
pada momen peringatan hari Kartini bulan April dan hari Ibu bulan Desember?
Apakah tidak ada momen lain yang bisa dimanfaatkan untuk menulis?).
f.
Dari sisi data, apakah sudah cukup
tersedia data-data yang memadai untuk anda menulis secara mendalam terkait
isu-isu yang terkait dengan masalah perempuan dan dunia kerja ini? Jika anda
belum memilikinya, kemanakah anda akan mencari informasi atau data terkait
tersebut?
F. Mengetahui Sebera Penting untuk Memasukkan
Isu Soal Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dalam Dunia Kerja
- Ini hal yang telah lama terjadi namun kerap
diabaikan untuk ditulis
- Ada bias dalam pandangan umum, dimana ada anggapan bahwa
perempuan yang bekerja adalah ‘second income’ di rumah tangganya, sehingga
untuk itu ‘dianggap wajar’ jika jumlahnya lebih kecil. Dalam kenyataannya ada
banyak hal yang tidak bisa digeneralisir. Bagaimana dengan orangtua tunggal
(single parent) dari pasangan yang bercerai, dan dalam hal ini perempuan yang
bekerja jadi satu-satunya tumpuan penghasilan. Apakah patut kemudian income ini
diperkecil atas dasar asumsi di atas
- Asumsi di atas pun lalu mengecilkan sistem reward yang
berdasarkan pada merit system, bahwa orang berhak mendapatkan imbalan atas apa
yang telah dikerjakan atau yang jadi prestasinya, bukan berdasarkan pada
pertimbangan gender yang ada
- Perempuan adalah tenaga kerja yang potensial baik di sektor
formal dan informal. Khusus dalam sektor informal kita melihat bagaimana
perjuangan yang dilakukan oleh para perempuan untuk bergulat menghidupi diri
dan keluarganya. Misalnya: para pedagang sayur yang telah keluar rumah sejak
jam 3-4 pagi. Para penyapu jalanan, pedagang kaki lima (nasi uduk, lontong
sayur dll).
- Media yang angkat masalah ini akan membuat mata masyarakat umum
dalam melihat ketimpangan yang selama ini terjadi, dan mengajak masyarakat
untuk sama-sama mencari solusi atas persoalan dan bias yang terjadi baik dalam
masyarakat ataupun media selama ini.
G. Langkah Strategis
Peran Perempuan dalam Media
Untuk mencapai
tujuan yang diharapkan perlu dilakukan langkah-langkah strategis, sebab
membongkar kontruksi sosial tentang gender memerlukan perjuangan dari segala
lini. Begitu pun bila kita ingin mewujudkan media yang responsif gender.
Langkah-langkah tersebut adalah:
Pertama, menjalin kerjasama dengan pengelola media penentu
kebijakan yang telah memiliki sensitifitas gender serta menularkan ‘virus’
gender kepada pengelola media yang lain. Tidak cukup hanya memberikan pemahaman
tentang persoalan gender kepada para pekerja media pada level bawah, karena
keputusan akhir ada pada pimpinan redaksi.
Kedua, melibatkan para pengambil keputusan dalam industri
media agar sajian mereka lebih memperhatikan persoalan-persoalan gender.
Ketiga, menjalin kerjasama serta memperbanyak kampanye tentang
gender kepada para pengambil kebijakan dalam industri hulu yang membuat program
siaran (production house), maupun
biro iklan;
Keempat, melaksanakan pelatihan jurnalisme berperspektif gender
kepada pengelola/pengambil keputusan maupun jurnalis lapangan agar mereka
memahami dan memiliki sensitifitas gender, serta responsif terhadap
persoalan-persoalan gender;
Kelima, menjalin kerjasama dengan orang-orang atau lembaga yang
memiliki kepedulian terhadap kesetaraan gender.
Keenam, yang tak kalah penting adalah melakukan riset nasional
untuk memetakan keberadaan wartawan maupun pemahaman tentang gender serta
keterlibatannya dalam pengambilan keputusan manajemen media, dikalangan
jurnalis lapangan maupun di tingkat manajer.
Semua langkah
itu dilakukan bukan hanya dengan perempuan yang terlibat dalan industri media,
namun juga laki-laki, seperti tokoh Bayu yang dicela oleh Soni sebagai feminis
laki-laki.
H.
Contoh Kesejahteraan Gender dalam Media
Dalam
level media nasional kita mengenal para perempuan jurnalis seperti Najwa Shihab
yang sekarang menjadi pemimpin redaksi Metro TV, Rosiana Silalahi mantan
pemimpin redaksi Liputan 6 SCTV, Retno Shanti mantan Wapemred Metro TV,
jurnalis senior Kompas Maria Hartiiningsih, Ninuk Pambudi wakil redaktur
pelaksana, redaktur senior Kompas Myna Ratna, Leila S. Chudori, mantan redaktur
eksekutif majalah Temppo, Hermien Kleden wakil pemimpin redaksi majalah Tempo
English edition, Toeti Adhitama, Yulia Supadmo, Uni Lubis dan lain-lain. Mereka-mereka
adalah jurnalis perempuan yang juga menduduki posisi-posisi penting di media
masing-masing.
Dahulu
di Kompas misalnya ada wartawati RIen Kuntari yang menguasai liputan luar
negeri. Di majalah Tempo adalah Purwandari yang juga sangat menguasai rubrik
ini, berikut dengan para narasumber yang relevan..
Dilihat
dari pembahasan dan beberapa contoh yang telah dipaparkan diatas ,kita bisa
melihat bahwa pada zaman sekarang gender tidak terlalu dipermasalahkan dalam
dunia media. Kita bisa lihat contoh diatas ,banyak wanita-wanita yang menjadi
pimpinan dalam dunia media. Jadi pemimpin dalam sebuah pekerjaan tidak lagi
identik dengan laki-laki.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di
atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan pemberitaan surat
kabar masih rendah, Berdasarkan data Persatuan Wartawan Indonesia, hingga tahun
2003 jumlah wartawan perempuan di Indonesia hanya berkisar 10,5% atau 1.079
orang dari 10.278 anggota PWI yang terdaftar
2. Perempuan yang bekerja dalam media cetak kebanyakan hanya ditempatkan
pada bagian administrasi, promosi dan periklanan. Jika menjadi wartawan, dalam
menjalankan tugas jurnalistiknya perempuan lebih banyak ditempatkan pada desk
yang dianggap lunak seperti hiburan, ekonomi, iptek, pendidikan dan budaya.
3. Pengelolaan surat kabar belum memiliki standar penulisan yang
sensitif gender. Selain itu pengelola pemberitaan surat kabar tidak memberikan
bekal pengetahuan secara khusus kepada wartawan tentang metode penulisan dan
pengeditan berita yang sensitive gender sehingga wartawan hanya menggunakan frame
berpikir masingmasing dalam memproduksi berita yang berkaitan dengan
gender.
Dengan
adanya perbedaan jenis kelamin yang secara alami sudah ada dalam diri seseorang
sebagai pemberian Tuhan YME yang tidak dapat ditawar lagi. Kita sebagai mahkluk
sosial yang demokratis dan saling membutuhkan harus saling menghormati dan
menghargai semua orang tanpa memandang gender. Karena pada hakikatnya semua
gender mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia sehingga harus
mempunyai kesempatan yang sama pula dalam semua hal yang bersifat non-kodrati.
Agar kemanpuan yang dimiliki tersebut dapat diekspresikan dengan maksimal untuk
memperbaiki atau meningkatkan mutu dan taraf hidup individu itu sendiri,
keluarga, dan lingkungan sekitar.
sumbernya dari mana??????????
BalasHapus