Senin, 26 Januari 2015

Titik Jenuh Terhadap Media Massa

0




Media massa dijadikan sebagai barometer kemajuan masyarakat modern. Media audio visual  TV adalah salah-satu media massa yang paling mudah dan paling banyak diakses oleh masyarakat. Secara umum TV merupakan salah-satu media massa yang mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Berdasarkan data statistic indicator social budaya tahun 2009, persentase penduduk diatas 10 (sepuluh) tahun yang menonton TV mencapai 90,27% (www.bps.go.id).

 
          Jumlah pemirsa TV di Indonesia bertambah hampir 300 ribu orang pada 2010 menjadi 6.299.000 orang dari 6.500.000 orang. Kenaikan ini disebabkan Karena jumlah masyarakat yang mendapat akses menonton TV semakin banyak dan semakin murahnya harga pesawat TV. Demikian hasil monitoring TV audience Measurement di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar dan Banjarmasin) terhadap penonton usia 5 tahun ke atas (http://smw.co.id/2011/02/apa-yang-masyarakat-indonesia-tonton-di-2010/ )
          Banyak ahli komunikasi yang menyatakan bahwa saat ini kita hidup dalam apa yang dinamakan masyarakat komunikasi massa. Apa yang dimaksud dengan masyarakat komunikasi massa? Secara sederhana, masyarakat komunikasi massa adalah satu masyarakat yang kehidupan kesehariannya tidak bisa dilepaskan dari media massa, mencari informasi mutakhir, mencari referensi untuk pendidikan, hiburan, bahkan jodohpun melalui media massa. (Iriantara, 2007).
          Referensi perkuliahan, hubungan social, relasi, bisnis, kondisi cuaca, informasi saham, berita mancanegara, Bahkan jodoh, semua dengan mudah dapat diakses melalui media. Media Massa memiliki empat fungsi praktis, yakni fungsi informative, edukatif, hiburan dan control social.
          Namun bagaimana peran media itu sendiri melihat kebutuhan masyarakat akan informasi? Seiring berjalannya waktu peran yang dimainkan dari waktu ke waktu oleh media semakin berubah, yang awalnya pragmatis karena orientasinya uang, menjadi bagaimana uang dapat dipertahankan dengan cara apapun.

Pemilik stasiun TV memiliki media cetak, pemilik radio memiliki media online adalah fenomena yang lumrah saat ini, Konvergensi media jelas lebih menguntungkan karena dapat mengembangakan dan mengoptimalkan satu berita dalam berbagai platform. Jadi satu berita dapat masuk dalam media cetak, kemudian di posting ke media online setelah itu disiarkan ke media eletronik Istilahnya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Lain hal dengan aspek konglomerasi media, sudah menjadi rahasia umum jika saat ini kebanyakan media ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu, entah ekonomi ataupun politik bahkan untuk melancarkan kepentingan pribadi atau golongan. Sehingga berita yang disampaikan menjadi tidak berimbang. Hal inilah yang menyebabkan pemberitaan saat ini tidak berdasar kepada fungsi media.
          Beberapa media besar di Indonesia bahkan dimiliki oleh tokoh politik besar yang saat Pemilu 2014 dijadikan sebagai ajang Kampanye besar-besaran antara media “Terdepan Mengabarkan” atau “Knowledge to Elevate”. Kemudian mensetting sebuah agenda agar mindset masyarakat dapat terbentuk sesuai dengan yang mereka harapkan.disinilah idealisme pemilik media dipertanyakan?
          Perkembangan Media massa sangat pesat, Pemilik media seharusnya paham, bagaimana masyarakat masa kini sangat bergantung pada informasi, namun perlu kebijaksanaan dalam penggunaannya bukan hanya alat yang sekedar dimanfaatkan untuk berjualan ataupun suatu kepentingan.
          “media Televisi sebaiknya tidak digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik, televisi merupakan ranah public” Dahlan Iskan dalam kegiatan Forum Pemred, Kamis (13/6) di Nusa Dua, Bali.
          Juni 2013, ratusan Pemimpin Redaksi dari berbagai organisasi media di Indonesia berkumpul di Nusa Dua Bali, menggelar pertemuan yang ternyata tidak hanya dihadiri oleh pemimpin redaksi saja, turut hadir tokoh-tokoh penting seperti sejumlah menteri, pemilik media dan politisi dari beberapa partai. Diantaranya adalah menteri menko perekonomian Hatta Rajasa, menteri pekerjaan umum, djoko Kirmanto, Menteri BUMN, Dahlan iskan, Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo dan dirut Pertamina Karen Agustiawan
          Pertemuan ini kemudian menuai kontroversi di media social, hal ini dinilai sarat akan spekulasi politik, bahwa adanya upaya untuk menggunakan forum pemred untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Masyarakat dibuat pesimis oleh independensi organisasi wartawan tersebut.
          AJI sebagai salah-satu organisasi wartawan di Indonesia menyampaikan bahwa ada tiga hal pokok yang perlu di perhatikan oleh forum pemred dalam hal ini, adalah
1.     Sesuai dengan peraturan dewan pers tentang organisasi wartawan. Iantaranya poin 8 yakni, organisasi wartawan memiliki program kerja dibidang peningkatan profesionalisme pers.
2.     AJI sebagai salah-satu organisasi wartawan, menyerukan anggotanya agar tidak mengikuti keputusan apapun dari forum pemred tersebut, terutama jika bertentangan dengan prinsip independensi, profesionalisme dan etika jurnlaistik.
3.     AJI menyerukan pemred yang hadir di Bali, hendaknya membahas secara serius kesejahteraan wartawan. Independensi redaksi di depan penguasa dan pengusaha, dan bagaimana kode etik jurnalistik menjadi muruah pers Indonesia. Serta upaya serius mengehntikan aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis di seluruh di seluruh Indonesia.
Ungkap ketua AJI, Eko Maryadi dalam keterangannya, kamis 13 juni 2013 vivanews.com
Ditengah persaingan ketat antar masing-masing media, kerap hal yang dikedepankan adalah kepentingan bisnis semata. Dalam hal ini forum pemred harus membuktikan bahwa forum ini benar-benar sepenuhnya dibuat untuk kontribusi kepada rakyat. Dan benar-benar menjaga independensi news roomnya.
Aspek lain yang menjadi perhatian adalah mengenai conten/isi dari media itu sendiri. Coba kita tengok beberapa contoh media massa begitu gila akan sebuah pemberitaan dan jelas-jelas tidak mempunyai nilai pendidikan. Sinetron yang tidak mendidik, acara komedi yang cenderung menyajikan hiburan dengan saling menjelek-jelekkan satu sama lain.
 Contoh kasus  Risna, seorang wanita yang ditinggal menikah oleh sang pacar setelah menjalin hubungan asmara selama tujuh tahun begitu ramai diperbincangkan di media berhari-hari, khususnya media social. Masyarakat awam kemudian merasa empati, melihat hal tersebut infotaiment kemudian mendramatisir pemberitaan mengenai “Risna”. Tak tanggung-tanggung media menyoroti risna sampai tempat magang risna di pulau Sembilan yang katanya sebgaia tempat untuk menenangkan diri.
Beberapa Remaja kemudian mengupload beberapa foto saat risna memeluk mempelai pria dan menambahkan tulisan “setidaknya diriku pernah berjuang”. Hal ini kemudian dipandang sebagai bentuk pemberontakan diam-diam sejumlah orang yang muak dengan dramatisasi berlarut-larut mengenai pemberitaan Risna. Hal ini kemudian dikategorikan sebagai junk food news (peter Philips) dimana suatu berita diekspose secara berlebihan (over exposed)
Beberapa aspek diatas merupakan bukti nyata bahwa media massa telah keluar dari jalur idealismenya. Idealism seolah dapat dibeli dengan materi. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jika masyarakat dijejali dengan segala informasi dan hiburan yang tidak sesuai dengan idealism media yang ada.
          Disinilah peran elite dan pemerintah dipertanayakan. Indonesia sebenarnya telah memiliki pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini, sebut saja KPI dan Kementrian Komnikasi dan Informasi. Mereka seharusnya dapat lebih tegas dalam menyikapi perilaku media massa saat ini
          Media massa tidak selamanya buruk, tergantung bagaimana kita menyikapi apa yang disampaikan olehnya, Perlu peran pemerintah dan LSM untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai literasi media. Agar masyarakat dapat mengontrol dan tidak tertipu oleh media massa.

 Literasi media atau yang lebih dikenal dengan melek media adalah suatu keterampilan yang mestinya diperlukan oleh masyarakat untuk berinteraksi secara layak dengan media. Konsep ini ditujukan untuk membuat audience kebal terhadap isi media yang kerap kali terdistorsi oleh gelora kapitalisme yang tidak masuk akal seperti kepentingan politik “keinginan pasar dan lain sebagainya” (Hayu, 2009:51).
Bergeraklah, jangan menunggu media sadar dan mengubah isi tayangannya. Lebih baik jika kita lebih cepat menangkal apa yang bakal disajikan oleh media.

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com