Minggu, 02 Agustus 2015

Ramadhan Dari Bapak dan Ibu

0



Dulu , saat saya berumur sekira tujuh tahun, saya sangat antusias dengan hari natal, karena akan banyak film kartun favorit yang akan tayang dengan latar belakang musim salju. Kemudian saat bulan Ramadhan tiba, saya disuruh berpuasa oleh bapak dan ibu, katanya semua muslim di dunia berpuasa setiap bulan Ramadhan, menurut saya, saya muslin karena setiap pulang sekolah saya mengaji di rumah tante jumati, dan menganggap daging babi itu haram.


Saya ngikut saja, saya makan sahur, lalu berpuasa. Puasa pertama bahkan tidak sampai setengah hari. Saya kelelahan meludah. Saya pikir puasa tidak boleh menelan ludah sekalipun. Esoknya saya urung berpuasa. Saya pikir puasa begitu menyiksa, saya terheran-heran melihat orang dilingkungan saya mampu berpuasa selama sebulan penuh.

Tahun berikutnya saya mulai khawatir jika bulan Ramadhan akan tiba, saya ragu apakah akan sanggup berpuasa. Tapi di banding kekhawatiran saya tentang puasa, malam tarawih ternyata jauh lebih menyenangkan, saya bisa berangkat bersama teman, shalat isya berjamaah, setelah ceramah di mulai saya keluar untuk bermain sambil membeli tempe goreng yang ditusuk seperti bakso khas mas winto dan pop ice segar, lalu kembali ke Masjid setelah ceramah usai.

Kata orang di Televisi, Ramadhan adalah bulan penuh berkah, mari menyambut Ramadhan dengan suka cita, mari perbanyak ibadah , Ramadhan adalah bulan yang dirindukan, puasa menyehatkan, dan sebagainya. Sebenarnya bukan cuman orang di TV, tapi guru agama di sekolah juga,  anak kos ibu juga, yang antusias sekali menyambut Ramadhan.

Saya adalah muslin yang pernah sangat antusias dengan hari natal dan pernah sangat khawatir menyambut bulan Ramadhan. Saya seorang muslim yang mulanya patuh sekali, menganggap semua yang dilakukan oleh orang dewasa adalah hal yang benar, menganggap antusias kak umrah, anak kos ibu saat itu adalah antusias seorang muslim yang benar-benar senang dengan datangnya Ramadhan, bukan antusias anak kos yang rindu kampung halaman yang kebetulan saja bulan Ramadhan bertepatan dengan jadwal libur kampusnya.

Saya menganggap semua iklan dan program siaran yang di buat khusus selama bulan Ramadhan adalah bentuk kepedulian terhadap muslim di Indonesia, bukan soal rating atau program musiman. Menganggap semua orang yang berpuasa karena alasan surga, kewajiban, ataupun ikut-ikutan karena terlanjur berada dalam lingkungan orang muslim dan terlalu beresiko jika tidak berpuasa adalah hal yang wajar. 

Menurut Cak Nun, manusia itu melakukan puasa karena perintah Tuhan (apalagi perintahnya wajib). Kalau manusia suka puasa, ya tidak akan diperintahkan, ngapain? Kan sudah suka. Berhubung itu perintah Tuhan dan hukumnya wajib, mau tidak mau harus dijalankan. Tapi manusia menjalankannya dengan ikhlas sebagai bentuk cinta pada Tuhannya. Dan orang hebat adalah orang yang melakukan dengan ikhlas perbuatan yang tidak disukainya. Kalau orang melakukan sesuatu karena memang suka, apa hebatnya? 

Sifat dasar manusia adalah lebih banyak meminta dari pada memberi. Sebuah perintah (Tuhan) harus diiming-imingi imbalan dulu. Imbalan pahala yang sangat besar adalah bentuk stimulus agar manusia tergerak dan jadi suka, itupun belum menjamin manusia mau melaksanakannya.

Selain Cak Nun, saya juga senang dengan Mas Arman Dhani, juga Mas Phutut EA, saya tahu mereka dari situs mojok.co. mereka cukup banyak mengubah pola pikir dan cara pandang saya. Saya pikir tulisan dan cara berpikir mereka hebat, khususnya Mas Arman. Ia menulis tentang bagaimana sebaiknya bersikap toleransi terhadap kaum LGBT, bagaimana ia menentang eksekusi mati, bagaimana ia berempati terhadap pengusiran orang-orang syiah di sampang atau bagaiaman ia menulis tentang orang ahmadiyah yang terusir lebih dari 10 tahun di Lombok. 

Usia saya tahun ini akan genap 20 tahun, setiap Ramadhan saya sambut dengan cara yang berbeda, tentu setiap tahun pemahaman saya berubah, tergantung lingkungan dan cara pandang saya. Usia 20 merupakan usia yang cukup penting buat saya, menurut saya di usian inilah ucapan saya akan dipertimbangkan oleh orang sekililing saya, tindakan saya akan diperhatikan banyak orang, dan semuanya harus saya pertanggungjawabkan.

Ramadhan tahun ini jelas jauh berbeda, saya bukan anak yang menerima pendidikan agama sama seperti anak pada umumnya,dulu bisa di bilang semua berjalan terlalu saya wajarkan, maksudnya, karena saya seorang muslim makanya saya harus sholat, mengaji dan puasa, tanpa pemahaman  lebih mendalam. Saya belajar dari apa yang dikatakan baik dan buruk dari guru di sekolah, meniru tindakan ibu atau anak kos ibu di rumah, bermain bersama teman yang tidak nakal, dan belajar bersama anak yang rajin. 

Seperti Ramadhan tahun ini, saya akan gelisah jika melewatkan tawarih berlalu begitu saja karena tugas kampus, hati saya akan jauh lebih tenang jika selama dalam perjalanan menuju kampus saya dzikir dalam hati, jika saya tidak mampu menolong orang yang saya lihat kesulitan dalam perjalanan saya akan berdoa untuknya. 

Tahun ini, dua hari sebelum Ramadhan, ibu masak dengan porsi yang sangat banyak, saya ikut membantu, katanya akan menggelar “Ammaca” ritual khsus sebelum Ramadhan sebagai bentuk hormat kepada nenek atau orang tua yang telah meninggal. Dulu saya ngikut saja, bahkan senang, jelas karena banyak makanan enak.

Saat ini sekedar tidak setujupun tidak akan mengubah pemahaman ibu tentang hal tersebut, saya bukan tidak pernah mencoba untuk memberi pengertian kepadanya, tidak jarang saya menemaninya nonton siaran islami saat pagi, mungkin jika ustadz dan ustadza di televisi yang menegaskan hal itu  ibu akan berubah, namun tahun ini masih sama saja, ibu berkilah bahwa itu adalah bagian dari adat kami.

Ada banyak pemahaman yang membuat saya salah paham soal diri sendiri, soal agama atau kepercayaan. Dan sedihnya ini dibawah oleh orang yang saya cintai dan patuhi. Tentu bukan salah mereka, mereka mungkin belum paham atau  kakek dan nenek memperlakukan mereka sama seperti mereka memperlakukan saya saat ini. Atau mungkin Tuhan memberi kesempatan kepada saya untuk meluruskan hal-hal yang salah agar ritual tersebut tidak dilanjutkan. 

Dari setiap usaha saya belajar dan mencari, termasuk dari tulisan-tulisan Mas Arman Saya belajar toleransi, beribadah yang ikhlas, tidak memaksakan kehendak atau pemahaman kepada orang lain, belajar percaya pada keyakinan saya sendiri tanpa menilai baik buruk kepercayaan orang lain, belajar lebih kritis dan peka terhadap sekitar, juga belajar mencitai keluarga, menerima bahwa bapak dan ibu juga manusia, yang bisa salah dalam mendidik, belajar bagaimana memberi pengertian kepada mereka.

Tahun ini saya akan genap berusia 20 tahun, saya harap orangtua dapat lebih percaya pada saya, pada semua usaha saya untuk membuat mereka paham bahwa saya tidak bermaksud membuat mereka tidak nyaman, atau memaksakan pemahaman saya kepada mereka, ini semata soal kepedulian dan bakti saya kepada mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com