Dulu , saat saya berumur sekira tujuh tahun, saya
sangat antusias dengan hari natal, karena akan banyak film kartun favorit yang
akan tayang dengan latar belakang musim salju. Kemudian saat bulan Ramadhan
tiba, saya disuruh berpuasa oleh bapak dan ibu, katanya semua muslim di dunia
berpuasa setiap bulan Ramadhan, menurut saya, saya muslin karena setiap pulang
sekolah saya mengaji di rumah tante jumati, dan menganggap daging babi itu
haram.
Saya ngikut saja, saya makan sahur, lalu berpuasa.
Puasa pertama bahkan tidak sampai setengah hari. Saya kelelahan meludah. Saya
pikir puasa tidak boleh menelan ludah sekalipun. Esoknya saya urung berpuasa.
Saya pikir puasa begitu menyiksa, saya terheran-heran melihat orang
dilingkungan saya mampu berpuasa selama sebulan penuh.
Tahun berikutnya saya mulai khawatir jika bulan Ramadhan
akan tiba, saya ragu apakah akan sanggup berpuasa. Tapi di banding kekhawatiran
saya tentang puasa, malam tarawih ternyata jauh lebih menyenangkan, saya bisa
berangkat bersama teman, shalat isya berjamaah, setelah ceramah di mulai saya
keluar untuk bermain sambil membeli tempe goreng yang ditusuk seperti bakso
khas mas winto dan pop ice segar, lalu kembali ke Masjid setelah ceramah usai.
Kata orang di Televisi, Ramadhan adalah bulan penuh
berkah, mari menyambut Ramadhan dengan suka cita, mari perbanyak ibadah , Ramadhan
adalah bulan yang dirindukan, puasa menyehatkan, dan sebagainya. Sebenarnya
bukan cuman orang di TV, tapi guru agama di sekolah juga, anak kos ibu juga, yang antusias sekali
menyambut Ramadhan.
Saya adalah muslin yang pernah sangat antusias
dengan hari natal dan pernah sangat khawatir menyambut bulan Ramadhan. Saya
seorang muslim yang mulanya patuh sekali, menganggap semua yang dilakukan oleh
orang dewasa adalah hal yang benar, menganggap antusias kak umrah, anak kos ibu
saat itu adalah antusias seorang muslim yang benar-benar senang dengan
datangnya Ramadhan, bukan antusias anak kos yang rindu kampung halaman yang
kebetulan saja bulan Ramadhan bertepatan dengan jadwal libur kampusnya.
Saya menganggap semua iklan dan program siaran yang
di buat khusus selama bulan Ramadhan adalah bentuk kepedulian terhadap muslim
di Indonesia, bukan soal rating atau program musiman. Menganggap semua orang
yang berpuasa karena alasan surga, kewajiban, ataupun ikut-ikutan karena
terlanjur berada dalam lingkungan orang muslim dan terlalu beresiko jika tidak
berpuasa adalah hal yang wajar.
Menurut Cak Nun, manusia itu melakukan puasa karena
perintah Tuhan (apalagi perintahnya wajib). Kalau manusia suka puasa, ya tidak
akan diperintahkan, ngapain? Kan sudah suka. Berhubung itu perintah Tuhan dan
hukumnya wajib, mau tidak mau harus dijalankan. Tapi manusia menjalankannya
dengan ikhlas sebagai bentuk cinta pada Tuhannya. Dan orang hebat adalah orang
yang melakukan dengan ikhlas perbuatan yang tidak disukainya. Kalau orang
melakukan sesuatu karena memang suka, apa hebatnya?
Sifat dasar manusia adalah lebih banyak meminta dari
pada memberi. Sebuah perintah (Tuhan) harus diiming-imingi imbalan dulu.
Imbalan pahala yang sangat besar adalah bentuk stimulus agar manusia tergerak
dan jadi suka, itupun belum menjamin manusia mau melaksanakannya.
Selain Cak Nun, saya juga senang dengan Mas Arman
Dhani, juga Mas Phutut EA, saya tahu mereka dari situs mojok.co. mereka cukup
banyak mengubah pola pikir dan cara pandang saya. Saya pikir tulisan dan cara
berpikir mereka hebat, khususnya Mas Arman. Ia menulis tentang bagaimana
sebaiknya bersikap toleransi terhadap kaum LGBT, bagaimana ia menentang
eksekusi mati, bagaimana ia berempati terhadap pengusiran orang-orang syiah di
sampang atau bagaiaman ia menulis tentang orang ahmadiyah yang terusir lebih
dari 10 tahun di Lombok.
Usia saya tahun ini akan genap 20 tahun, setiap Ramadhan
saya sambut dengan cara yang berbeda, tentu setiap tahun pemahaman saya
berubah, tergantung lingkungan dan cara pandang saya. Usia 20 merupakan usia
yang cukup penting buat saya, menurut saya di usian inilah ucapan saya akan
dipertimbangkan oleh orang sekililing saya, tindakan saya akan diperhatikan
banyak orang, dan semuanya harus saya pertanggungjawabkan.
Ramadhan tahun ini jelas jauh berbeda, saya bukan
anak yang menerima pendidikan agama sama seperti anak pada umumnya,dulu bisa di
bilang semua berjalan terlalu saya wajarkan, maksudnya, karena saya seorang
muslim makanya saya harus sholat, mengaji dan puasa, tanpa pemahaman lebih mendalam. Saya belajar dari apa yang
dikatakan baik dan buruk dari guru di sekolah, meniru tindakan ibu atau anak
kos ibu di rumah, bermain bersama teman yang tidak nakal, dan belajar bersama
anak yang rajin.
Seperti Ramadhan tahun ini, saya akan gelisah jika
melewatkan tawarih berlalu begitu saja karena tugas kampus, hati saya akan jauh
lebih tenang jika selama dalam perjalanan menuju kampus saya dzikir dalam hati,
jika saya tidak mampu menolong orang yang saya lihat kesulitan dalam perjalanan
saya akan berdoa untuknya.
Tahun ini, dua hari sebelum Ramadhan, ibu masak
dengan porsi yang sangat banyak, saya ikut membantu, katanya akan menggelar “Ammaca”
ritual khsus sebelum Ramadhan sebagai bentuk hormat kepada nenek atau orang tua
yang telah meninggal. Dulu saya ngikut saja, bahkan senang, jelas karena banyak
makanan enak.
Saat ini sekedar tidak setujupun tidak akan mengubah
pemahaman ibu tentang hal tersebut, saya bukan tidak pernah mencoba untuk
memberi pengertian kepadanya, tidak jarang saya menemaninya nonton siaran
islami saat pagi, mungkin jika ustadz dan ustadza di televisi yang menegaskan
hal itu ibu akan berubah, namun tahun ini
masih sama saja, ibu berkilah bahwa itu adalah bagian dari adat kami.
Ada banyak pemahaman yang membuat saya salah paham
soal diri sendiri, soal agama atau kepercayaan. Dan sedihnya ini dibawah oleh
orang yang saya cintai dan patuhi. Tentu bukan salah mereka, mereka mungkin
belum paham atau kakek dan nenek
memperlakukan mereka sama seperti mereka memperlakukan saya saat ini. Atau mungkin
Tuhan memberi kesempatan kepada saya untuk meluruskan hal-hal yang salah agar
ritual tersebut tidak dilanjutkan.
Dari setiap usaha saya belajar dan mencari, termasuk
dari tulisan-tulisan Mas Arman Saya belajar toleransi, beribadah yang ikhlas,
tidak memaksakan kehendak atau pemahaman kepada orang lain, belajar percaya
pada keyakinan saya sendiri tanpa menilai baik buruk kepercayaan orang lain,
belajar lebih kritis dan peka terhadap sekitar, juga belajar mencitai keluarga,
menerima bahwa bapak dan ibu juga manusia, yang bisa salah dalam mendidik,
belajar bagaimana memberi pengertian kepada mereka.
Tahun ini saya akan genap berusia 20 tahun, saya
harap orangtua dapat lebih percaya pada saya, pada semua usaha saya untuk
membuat mereka paham bahwa saya tidak bermaksud membuat mereka tidak nyaman,
atau memaksakan pemahaman saya kepada mereka, ini semata soal kepedulian dan bakti
saya kepada mereka.
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.